(MAKALAH) PROBLEMATIKA HADITS SEBAGAI DASAR TASYRI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 


Menurut bahasa hadits memiliki beberapa arti, yaitu baru, dekat, warta atau berita. Adapun pengertian hadits menurut istilah ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) (Muhaemin, 2008 : 5) 
                   
Dalam Wikipedia, hadits (ejaan KBBI: hadis adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat islam. Hadits dijadikan sumber hukum islam selain al-Quran, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran.

Hadits merupakan salah satu sumber ajaran umat islam setelah Al-Quran dan salah satu fungsi hadits yaitu sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Quran yang dianggap samar maknanya. Selain sebagai penjelas fungsi hadits yang lainnya yaitu untuk menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-Quran, serta menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Quran. 

Karena hadits memiliki isi yang lebih transparan dari al-Quran, sehingga lebih mudah untuk dikeritisi, bahkan oleh non muslim. Sehingga banyak non muslim yang tidak menyukai umat islam menjadikan hadist untuk menyelewengkan umat muslim maka dari itu agar kita terhindar dari kekeliruan terhadap sebuah hadits maka dibuatlah makalah mengenai problematika hadits sebagai dasar tasyri.



B. Rumusan Masalah 
a) Bagaimana Problematika Hadits mengenai Pemalsuan Hadits? 
b) Bagaimana Problematika Hadits mengenai Inkar As-Sunnah?
c) Bagaimana Problematika Hadits mengenai Kritik Orientalis? 

C. Tujuan 
a) Untuk mengetahui Problematika Hadits mengenai Pemalsuan Hadits
b) Untuk mengetahui Problematika Hadits mengenai Inkar As-Sunnah
c) Untuk mengetahui Problematika Hadits mengenai Kritik Orientalis 













BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Pemalsuan Hadits


1.      Pengertian Hadits Maudhu


Secara bahasa, Al-maudhu’ adalah isim marf’ul dari wa-dha-a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal). [1]
Meskipun demikian, kata al-maudlu secara kebahasaan memliki beberapa kontasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada satu pengertan yang sama.
Sedangkan pengertian hadis maudhu secara istilah adalah  sebagai : 
مانُسب الى الرّسول صلى الله عليه وسلّم اختلا قًا وكذبًا ممّا لم يقلْه أو يفعله أو يقرّ

Artinya: “Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw secara dibuat-buat dan dusta, padahal Beliau tidak mengatakan dan melakukannya.”
Sedangkan menurut sebagian ‘Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’ adalah:
هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلّم زورًا وبهتا نًا سواءٌ كان ذالك عمدًا أم خطأً
”Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun tidak.”[2]

Beberapa unsur penting dalam bacaan definisi al-maudhu adalah sebagai berikut:[3]
a.       Unsur al-wadh’u (pembuatan) atau (dibuat-buat), Artinya, apa yang disebut sebagai hadis “buatan” dia sendiri, “bukan ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.
b.      Unsur al-kadzibu (dusta) atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadis Nabi adalah “dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan dari Nabi. Hanya dia yang mengatakan bahwa hadis tu berasal dari Nabi.

c.       Unsur al-amdu (sengaja) dan al-khatha’u (tidak sengaja). Artinya, pembuatan hadis dusta yang disebut sebagai hadis nabi itu dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja.

Dari ketiga unsur tersebut, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadis maudhu dusta (kidzib). Oleh karena itu, Nabi sangat berpesan agar menghindari dusta (kidzib) dalam meriwayatkan hadis, dan juga memberi ancaman terhadap setiap pelaku kedustaan riwayat nabi.

Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak mentaqrirkannya.[4]

   Pengertian hadis maudhu secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaannya.[5]
a.       Al- hiththah mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang terbuang atau hadis yang terrlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai landasan hujjah
b.      Al-isqath, mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang gugur, tidak boleh diangkat sebagai dasar istidal.
c.       Al-islaq mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang ditempelkan (diklamikan) kepada nabi Muhammad agar dianggap berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
d.      Al-ikhtilaq mengandung arti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang dibuat-buat sebagaapan yangi ucapan,perbuatan, atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.

2.      Masa Awal Kemunculan Hadis Maudhu

Pada mulanya, para mutakallim berbeda pendapat tentang benar atau tidaknya terjadi pemalsuan dalam hadis jika dilihat dari segi periwayatannya. Hal ini karena dari segi periwayatannya, terjadi status ke-maudhu-an hadis didasarkan atas kedustaan (kidz) atau tertuduh dusta (muttaham bi al-kidz). Ibn katsir mensinyalir bahwa bisa saja terjadi pemalsuan hadis secara menyeluruh sebagian yang lainnya menyatakan pada fakt empiris sejarah masyarakat islam, memang terjadi pemalsuan dalam riwayat hadis yang banyak beredar di masyarakat. Hal ini terbukti setelah dilakukan penelitan para ulama muhaddisin.(moh.najib, 2001:49)

Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin ‘Affan, dilanjutkan denganpertentangan yang semakin memuncak antara kelompok  ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al- Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullahshollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejarah timbulnya hadits palsu dikalangan umat islam.[6]

Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut:[7]

1.        Pertentangan politik
Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sehingga terbentuk golongan syi’ah, khawariz, dll. yang berujung pada pembuatan hadits palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing.



2.          Usaha kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuanhadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ :
أناخاتمُ النبيّين لا نبيّ بعديْ إلاّ أن يشاءالله
"Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang Allah kehendaki.”

3.           Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan
Salah satu tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan karena kebencian, bahkan balas dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-Khalily, salah seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits palsu mengenai keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah 300.000 hadits.[8]

4.           Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat
Kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.

5.           Perbedaan pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah ini berasal dari perselisihan pendapat dalam hal ‘aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Misalnya hadits palsu yang isinya tentang keutamaan Khalifah ‘Ali bin Abi Thaalib:
عليّ خيرالبشرمَن شكّ فيه كفر
"’Ali merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa yang meragukannya maka ia telah kafir.”[9]

6.          Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan
Sebagian orang sholih,  ahli zuhud dan para ulama akan tetapi kurang didukung dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang yang malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahuwata’ala dan menjunjung tinggi agama-Nya melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan akan kebodohan mereka. Karena  Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain untuk menyempurnakan dan memperbagus syari’at-Nya.

7.       Pendapat yang membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi kebaikan
   Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam beribadah, padahal para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, apapun sebab dan alasannya.

     Diantara tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pembuat hadits palsu adalah
1. Abd al-Karim bin Abu al-‘Auja.
    Ia mengaku telah membuat hadits palsu sebanyak 4.000 hadits. Isi hadits-hadits tersebut menyangkut penghargaan terhadap hal yang halal dan penghalalan terhadap yang haram. Pengakuan itu diumgkapkan sebelum naik tiang gantungan. Sebagai hukuman atas perbuatannya memalsukan hadits, ioa dijatuhi hukuman mati oleh Muhammad bin Ali, gubernur wilayah Basrah di Iraq.

2. Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam.
    Ia adalah seorang ulama besar yang menguasai berbagai disiplin ilmu hingga disebut sebagai al-jami. Ia pernah belajar fikih kepada Abu Hanifah dan Abu Laila, belajar ilmu hadits kepada Hajaj bin Artah, belajar tafsir kepada al-Kalby, dan belajar sejarah kepada Muhammad bin Ishaq. Sayangnya, dia membuat hadits palsu tentang keutamaan surah-surah tertentu dalam al-Qur’an. Pemalsuan hadits ini dilakukakan karena menurutnya banyak ummat islam yang telah berpaling dari ajaran al-Qur’an dan sibuk dengan fikih ala Abu Hanifah dan sejarah yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ishaq. Dengan pemalsuan hadits tersebut diharapkannya umat islam kembali pada al-Qur’an.

3. Abu al-Khatib bin Diyah Ia adalah seorang yang telah membuat hadits palsu tentang shalat qasar maghrib.Menurut seorang ulama besar dari Baghdad yang menulis kitab Tarjamah Abd al-Aziz Ibn Harits at-Tamimi al-Hanbali, Abu al-khatib bin diyah mempunyai kebiasaan jika berfatwa dan tidak ia menemukan dalilnya maka ia membuat hadits palsu untuk melegalisasikan fatwanya.

    Disamping tokoh-tokoh tersebut, masih banyak lagi tokoh lain, seperti Aban Bin Jafar an-Numairi, Ibrahim Bin Zaid al-Asqalani, Ahmad Bin Abdullah al-Juwaibari, Muhammad Bin Syuja al-Laisi, Haris Bin Abdullah al-Amar, Muqatil Bin Sulaiman, Al-Waqidi, Ibnu Abi Yahya, Ghulam Khalil, Ghiyas Bin Ibrahim, Jabir Bin Yazid al-Jufi, Abu Dawud al-Ama, Bayan Bin Saman al-Mahdi, Muhammad Bin Said al-Maslub al-Sami, Mughirah Bin Sad al-Kufi dan lain sebagainya.

4.      Kaidah-Kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu

Ada beberapa patokan untuk mengidentifkasi bahwa hadits itu shahih atau palsu, di antaranya:
1.      Dalam Sanad
a)      Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu, sebagaimana pengakuan Abu ishmah nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadis tentang fadhilah membaca Al-Quran, surat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dll. Dalam kaitannya dengan masalah ini Al-Yuthi menyatakan bahwa surat-surat dalam Al-Quran yang didapati dalam hadis shahih hanyalah surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali-Imran, Al-An’am, dan surat yang panjang dari Al-Baqarah sampai Al-Bara’ah, Al-Kahfi, Surat Yasin, Al-Ikhlas Al-Mulk, Al-Mulk, Al-Zalzalah, Al-Nur, Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Dan Al-Muawidzatain. Selain itu hadisnya bukan hadis shahih.
b)      Adanya Qarinah (dalil) yang menujukan kebohongannya, sepert menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung.
c)      Meriwayatkan hadis sendiran, semenatara di rawi dikenal sebgai pembohong. Sementara itu tidak ditemukan dalam riwayat lain, maka hadis ini dikatakan maudhu.

2.      Dalam Matan
a)      Buruknya redaksi hadis, padhal Nabi Muhammad SAW adalah seseorang yang pandai dalam berbahasa, santun dan enak dirsakan. Dari redaksi yang jelek akan berakibat kepada makna maupun maksud dari hadis Nabi SAW. Kecuali kalau perawi dapat menjelaskan bahwa hadis itu benar-benar menunjukan datang dari Nabi SAW.
b)      Maknanya Rusak. Ibnu hajar menerangkan bahwa kejelasn lafadz ini di titikberatkan pada kerusakan arti.
c)      Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al-quran atau hadis yang lebih kuat atau ijma’.
d)     Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang besar atas perkara yang kecil.
e)      Hadis yang bertentangan dengan kenyataab sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW dan jelas-jelas nampak kebohongannya.
f)       Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat. [10]

5.      Pengaruh dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu

Hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam diantaranya:
1. Penyimpangan dalam beribadah        
2. Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat
3. Matinya sunnah

6.      Upaya Penyelamatan Hadis

Para ulama’ hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan hadits palsu. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebnagai berikut:
1)      meneliti system sandaran hadits.
2)      Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya.
3)  Studi kritik rawi, yang lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya.
4)  Menyusun kaidah-kaidah umum untuk memilih hadits-hadits,yaitu dengan mengetahui batasan-batasan hadits shahih, hasan dan dhaif.
Mulai saat itu perkembangan ilmu hadits melaju bagitu cepat demi menyelamatkan hadits-hadits Rasul ini. Pada akhirnya, tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui keadaan matan hadits. Bersamaan dengan itu muncullah berbagai macam Ilmu hadits, khususnya yang berkaitan dengan penelitian sanad hadits, antara lain ialah Ilmu Rijal Al-Hadits dan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil.
Dengan berbagai kaidah dan ilmu hadits itu, ulama’ telah berhasil menghimpun berbagai hadits palsu dalam kitab-kitab khusus, seperti Al-Maudhu’ Al-Kubra, karangan Abu Al-Fari ‘Abd Al-Rahman bin Al-Jauzi (508-597 H) dalam 4 jilid, dll.



B.   Inkar Sunnah

1.      Pengertian Inkar Sunnah

Kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab إِنْكَرَا يُنْكِرُ  إِنْكَرَ   yang mempunyai arti diantaranya :”Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau  tidak mengetahui sesuatu. Misalnya Firman Allah :
فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ
 “Lalu mereka (saudara saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf mengenal   mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya kepadanya.(QS.Yusuf (12) :58).
يَعْرِفُونَ نِعْمَةَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang orang yang kafir. (QS.An-Nahl (16) :83).
      Al Askari membedakan antara makna An Inkar dan Al Juhdu. KataAl Inkar terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang Al Juhdu terhadap sesuatu yang nampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah dikalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulum hadits. Dari beberapa kata”Ingkar” di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain.
      Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadits disebut ahli bid’ah. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu’tazilah dan lain lain karena mereka itu umumnya menolak sunnah.
      Ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yanng sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya diantaranya sebagai berikut :
a.       Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al Qur’an.
b.      Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari Sunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitasmutawatir atau ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang diterima.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Ingkar Sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum Islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain lain. Paham Ingkar Sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah mutawatir dan ahad atau menolak yang ahad saja atau sebagian saja. Demikian juga penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat, seperti seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadits yang ia dapatkan, atau hadits itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhaifannya atau karena tujuan syar’i yang lain maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.

2.      Perkembangan Ingkar Sunnah

Sejarah perkembangan Inkar Sunnah hanya terjadi pada dua masa yaitu masa klasik dan masa modern. Sedangkan pada masa pertengahan Inkar Sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluasakan kolonialismenya ke negara-negara Islam dengan menaburkan fitnah dan mencoreng citra agama Islam.
a)        Inkar Sunnah Klasik
Inkar Sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H.) yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawâtir atau âhâd. Imam Syafi’i yang dikenal sebagai Nâshir As-Sunnah (pembela Sunnah) pernah didatangi oleh orang yang disebut sebagai ahli tentang madzhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik mutawâtir atau âhâd. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan. Namun semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’idengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi. Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu:
1)        Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Alquran saja yang dapat dijadikan hujjah.
2)        Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Alquran.
3)        Hanya menerima sunnahmutawâtir saja dan menolak selain mutawâtir yakni sunnah âhâd.

Inkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte-sekte Islam, kemudian diikuti oleh para pendukungnya dengan mencaci para sahabat dan melemparkan hadits palsu. Inkar sunnah klasik hanya terdapat di Bashrah Irak karena ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam syari’ah Islam, tetapi setelah diberikan penjelasan akhirnya menerima kehujahannya.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah. Menurut imam Syafi’i ada tiga kelompok ingkar as-sunnah seperti telah dijelaskan di atas. Antara lain :
1. Khawarij
Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharijyang berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian terminologis khawarij adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a.

 Ada sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Yaitu perang jamal (antara sahabat Ali r.a dengan Aisyah) dan perang Siffin ( antara sahabat Ali r.a dengan Mu’awiyah r.a). Dengan alasan bahwa seelum kejadian tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari islam. Akibatnya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian tersebut mereka tolak.
Seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij sudah punah seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini, kecuali kelompok Ibadhiyah yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab) yang ditulis oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang diriwayatkan oleh atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik sebelum maupun sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar.[10]

2. Syiah
 Kata syiah  berarti ‘para pengikut’ atau para pendukung. Sementara   menurut istilah ,syiah adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib lebih utama daripada  khalifah yang sebelumnya, dan berpendapat bahwa al-bhait     lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.
Golongan syiah terdiri  dari berbagai kelompok  dantiap kelompok   menilai  kelompok yang lain sudah keluar dari islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna ‘asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu syariat islam. Hanya  saja ada perbedaan nmendasar antara kelompok syiah ini dengan golongan ahl sunnah  (golongan  mayoritas umat islam),yaitu dalam hal penetapan  hadits.
Golongan syiah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut menurut merekamasih tetap muslim. Karena itu, golongan syiah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas  para sahabat tersebut. Syiah hanya menerima hadits-hadits yang  diriwayatkan oleh ahli baiat saja.                                                

3. Mutazilah
Arti kebahasaan dari kata mutazilah adala ‘sesuatu yang  mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat islam karena berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak dapat disebut mukmin atau kafir.
Imam Syafi’I menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menelaskan siapa arang yang menolak sunah itu. Sementara sumber-sumber yang menerankan sikap mutazilah erhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mutazilah  menerima sunnah keseluruhan, menolak keseluruhan, atau hanya menerima sebagian sunnah saja.
Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat islam, tetapi mungkin ada beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah klasik yaitu, bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan dan ha itu muncul akibat ketidaktahuan  mereka tentang fungsi dan kedudukan hadist. Karena itu, setelah diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya kembali. Sementara lokasi ingkar as-sunnah klasik berada di Irak, Basrah.

b)        Inkar Sunnah Modern
Inkar Sunnah modern muncul di Mesir pada abad 20 M. Penyebab utamanya adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam, terutama di India setelah terjadi pemberontakan melawan colonial Inggris 1857 M. Berbagai usaha-usaha yang dilakukan kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum, penyimpangan aqidah melalui pimpinan-pimpinan umat Islam dan tergiutnya mereka terhadap teori-teori Barat untuk memberikan interpretasi hakekat Islam.
                                                           
       Tokoh-tokoh kelompok ingkar sunah modern akhir abad ke 19 dan 20 yang terkenal adalah Taufik Siddqi (wafat 1920 dari Mesir Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad khalifah kelahiran mesir yang menetap di Amerika serikat dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai sosialis rakyat Malaysia. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah klasik, untuk lebih jelasnya daapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Taufik Sidqi dari Mesir
Beliau berpendapat bahwa tidak ada  satupun hadits nabi SAW yang dicatat pada zamannya.
Pencatatan hadits nabi SAW dilakukan setelah nabi SAW wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadits nabi tersebut manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits seperti yang terjadi.
2.      Ghulam Ahmad Parvez dari India
Ia adalah pengikut setia Taufik Sidqi, pendapatnya yang terkenal adalah mengenai tata cara sholat yang terserah pada pemimpin umat untuk menentukan secara musyawarah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
3.      Rasyad Khalifah dari Amerika Serikat
Ia mengakui bahwa al-quran adalah satu-satunya sumber ajaran islam, namun ia menolak al-hadits bahkan menilainya sebagai buatan iblis yang di bisikan kepada Nabi Muhammad SAW.
4.      Kasim Ahmad dari Malaysia
Menurut pendapatnya asal mula hadits Nabi SAW yang di himpun dalam kitab-kitab hadist adalah dongeng-dongeng semata, karena hadits nabi tersebut ditulis seteleah nabi SAW wafat
5.      Ingkar Sunnah di Indonesia
Tokoh-Tokoh Ingkar sunnah yang tercatat di Indonesia antara lain:
Lukman Sa’ad, Dadang Setio Groho, Safran Batu Bara dan Dalimi Lubis[11].

3.      Pokok-pokok ajaran Inkar Sunnah

Pada umumnya, setiap kelompok keagamaan memiliki pemikiran sebagai ajaran utamanya. Hal ini juga menjadi ciri lain yang mempertegas eksistensi kelompoknya. Demikian juga dengan kelompok Inkar Sunnah. Kelompok ini memiliki ajaran utama yang dijadikan landasan pelaksanaan keberagamaan mereka.
Adapun ajaran-ajaran pokok dari Inkar Sunnah adalah sebagai berikut:
a.         Tidak percaya kepada semua hadis Rasulullah SAW. Menurut mereka itu karangan Yahudi untuk menghancurkan umat Islam.
b.         Dasar hukum Islam hanya Alquran saja.
c.         Syahadat mereka Isyhadû bi annâ muslimûn.
d.        Shalat mereka bermacm-macam, ada yang dua roka’at-dua roka’at dan ada yang hanya diingat saja.
e.         Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seorang saja yang melihat bulan, maka dialah yang wajib berpuasa.
f.          Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram, yaitu: Muharram, Rajab, Zulqa’idah, dan Zulhijjah.
g.         Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan merepotkan. Maka pada waktu haji boleh mengenakan celana panjang dan baju biasa serta memakai jas/dasi.
h.         Rosul tetap di utus sampai hari kiamat.
i.           Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang kandungan isi Alquran
j.           Orang yang meninggal dunia tidak dishalati karena tidak ada perintah dalam Alquran.

Seperti itulah ajaran pokok Inkar sunnah yang intinya menolak ajaran sunnah yang dibawa Rasulullah SAW dan hanya menerima Alquran secara terpotong-potong.

4.      Argumen-Argumen Para Pengingkar Sunnah

Cukup banyak argumen yang dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar al-sunnah. Baik mereka yang hidup pada zaman al-Syafi’I maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Pengelompokkan tersebut berupa argumen naqli dan non-naqli. Berikut penjelasannya:
1.         Argumen Naqli
Argumen Naqli tidak hanya berupa ayat Alquran saja, tetapi berupa sunnah dan hadis Nabi. Sungguh ironis bahwa mereka menggunakan sunnah sebagai argumen untuk membela paham mereka. Para pengingkar sunnah yang mengajukan argumen seperti itu adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berhak menjelaskan Alquran kepada umatnya.
2.         Argumen Non-naqli
Pengertiannya adalah argumen-argumen yang tidak berupa ayat Alquran atau hadis-hadis. Argument-argumen yang diajukan yang terpenting adalah sebagai berikut:
a)         Alquran diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dalam bahasa Arab. Orang yang memiliki pengetahuan Bahasa Arab akan dengan mudah mampu memahami Alquran tanpa bantuan penjelasan hadis Nabi.
b)        Umat Islam mengalami kemunduran karena mengalami perpecahan. Perpecahan itu dikarenakan hadis Nabi. Jadi agar umat Islam maju maka umat Islam harus meninggalkan hadis Nabi.
c)         Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng semata. Dinyatakan seperti itu karena hadis muncul setelah Nabi wafat.
d)        Menurut dokter Taufik Sidqi, tiada satupun hadis yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan hadis Nabi terjadi stelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpetualang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.
e)         Kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadis sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadis.

5.      Sebab Munculnya Ingkar Sunnah

Melihat dari beberapa permasalahan di atas yang berhubungan dengan adanya pengingkaran sunnah dikalangan umat Islam, dapatlah kiranya dilihat sebab adanya pengingkaran tersebut, diantaranya:
1.      Pemahaman yang tidak terlalu mendalam tentang Hadits Nabi saw. Dan kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, demikian menurut Imam Syafi’i.
2.      Kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang bahasa arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan, pembinaan hadits, metodologi penelitian hadits, dan sebagainya.
3.      Keraguan yang berhubungan dengan metodologi kodifikasi hadits, seperti keraguan akan adanya perawi yang melakukan kesalahan atau muncul dari kalangan mereka para pemalsu dan pembohong.
4.      Keyakinan dan kepercayaan mereka yang mendalam kepada al-Qur’an sebagai kitab yang memuat segala perkara.
5.      Keinginan untuk memahami Islam secara langsung dari al-Qur’an berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan melibatkan diri pada pengkajian hadits, metodologi penelitian hadits yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian ini, disebabkan oleh keinginan untuk berfikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
6.      Adanya statement al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam (QS. Al-Nahl: 89), juga terdapatnya tenggang waktu yang relatif lama antara masa kodifikasi hadits dengan masa hidupnya Nabi SAW (wafatnya beliau).
7.      Pengaruh pemikiran Orientalis Barat.

C.   Kritik Orientalis


1.      Pengertian Kritik Orientalis

            Kritik berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas. Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan kritik dan kecaman.
            Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Orientalisme adalah gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, yang dijadikan obyek studi mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan. Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran).
            Jadi kritik orientalis adalah pertimbangan atau pembahasan pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, yang dijadikan obyek studi mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan.

2. Biografi Orientalis

a. Biografi Ignaz Goldziher                     
            Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir.
            Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Hungaria 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel “asli” dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki.
            Sebagai “adat” para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejabat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir.
            Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, ‘Abbasi,Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya “Muslim” (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa “menembus” al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya. 
            Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.
            Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan faham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits), dan sekarang kaki tangan Goldziher sudah tersebar dimana-mana di dunia ini terutama sekali sarjana-sarjana Islam yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi yang dikelola oleh jaringan zionis internasional. Di Mesir ada Ali Hasan Abdul Qadir, Dr. Thoha Husein, Dr. Ahmad Amin dan Abu Rayyah, di Amerika faham ini disebarkan oleh Dr. Rasyad Khalifah dan di Indonesia oleh Dr. Snouck Hourgrounje dan kaki tangannya seperti Habib Abdurrhman Az-Zahir, Sayid Osman bin Yahya dan Tengku Nurdin.

b. Biografi Joseph Schacht
            Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
            Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.
Karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.

c. Biografi Gauther H.A Juynboll
            Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935, sejak di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits, di antara karya-karyanya adalah: The Authenticity of the Tradition Literature, Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadîth; Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith; dan Discussion in Modern Egypt.

3.      Pemikiran Ketiga Orientalis


a. Pemikiran Ignaz Goldziher
            Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.
            Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadits tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.
            Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat.
            Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadits t dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.
            Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadits sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: (Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadits ”) Kata-kata “ahadits ” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadits ” yang berarti hadits -hadits yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits -hadits Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu.
            Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
            Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadits tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.

b. Pemikiran Joseph Schacht
            Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadits adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih).
            Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:
1)      Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2)      Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3)      Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4)      Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5)      Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
            Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:
1)      Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi.
Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi.

Ia berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapatpendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapatpendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back.
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.

2)      Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadits itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.

3)      Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.

c. Pemikiran Juynboll
            Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba……” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.

Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatn hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.




4.Bantahan Ulama terhadap Kritik Orientalis

            Gencarnya kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak lantas membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang telah menangkal teori-teori ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.
            Berikut ini beberapa bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid.

a. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
            Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
            Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.
            Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.
            Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.
            Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.

b. Bantahan untuk Josep Schacht
            Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
            Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
            Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
            Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
            Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.
            Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
            Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
            Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.

c. Bantahan untuk G.H.A Juynboll
            Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
            Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
            Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.

5.Motif Orientalis


a.         Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
b.        Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri. Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di Timur.
c.         Faktor Ekonomi.
d.        Faktor Politik. Barat tetap berkeinginan terus menguasai Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan mereka.
e.         Faktor keilmuan. Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta kesalahan dalam memahami Islam.

6.Dampak  Kritik Orientalis

            Secara positif mereka banyak menyadarkan kita akan pentingnya membaca sejarah para ulama-ulama Islam kita. Mereka mengangkut manuskrip kita keluar negeri yang merupakan sejarah keilmuwan kita untuk dipelajari dan diaplikasikan sehingga mereka lebih maju dari umat Islam.
            Di Irak setelah invasi Amerika, benda dan manuskrip Islam yang ada di Irak banyak diboyong keluar oleh AS. Memang di AS memiliki teknologi yang lebih canggih untuk menjaga manuskrip. Secara negatif mereka mendudukan diri mereka sebagi otoritas dalam berpendapat dan mengambil keputusan. Pendapat dan pemikiran merekalah yang harus didengar dan dipakai.
            Negatifnya kebanyakan para pelajar Muslim yang dikirim belajar atau studi ke luar negeri setelah kembali ke Indonesia pikirannya teracuni oleh pemikiran orientalis. Kemudian mereka memiliki posisi yang strategis sepulangnya ke negara asalnya, misalnya menjadi leader dalam dunia pendidikan dan memasuki dunia birokrat. Oleh karena itu mereka mengambil para dosen-dosen dari universitas bahkan kampus-kampus Islam untuk melakukan studi di negaranya agar dapat mewarnai pemikirannya.
            Itu faktor eksternal hasil dari kerja orientalis. Para ahli sejarah umumnya sepakat bahwa Eropa telah mengalami sekularisasi sejak 250 tahun terakhir. Yang masih mereka perdebatkan hanyalah soal bagaimana dan mengapa proses itu terjadi.

a. Pemahaman Ibadah Ritual
            Sebagain besar umat Islam Indonesia yang awam mengartikan ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ritual seperti shalat, puasa, haji.  Banyak umat Islam mengerjakan shalat, puasa, haji. Tetapi apabila ditanya tentang pengertian shalat, puasa, haji banyak yang tidak tahu.
Mereka mengerjakan hanya karena ritual. Ritual tersebut merupakan tolok ukur bagi orang yang beragama Islam. Tetapi umat Islam banyak yang tidak tahu tujuannya.
            Mereka melakukan hanya mengikuti apa yang diajarkan para uztad, (tradisi), Ironisnya para uztad tidak menjelaskan secara rinci maksud dan tujuannya. Menganggap semua jamaah sudah tahu maksud dan tujuannya. Padahal kenyataanya banyak yang tidak tahu.

b. Meningkatkan Pengetahuan Tentang KeIslaman
            Hal ini sangat penting untuk menghadapi paham-paham orientalis yang notabene ingin menyudutkan dan menghancurkan Islam, karena mereka pada umumnya orang-orang akademik maka untuk menyanggah mereka kitapun harus berbekal pengetahuan keIslaman secara akademik juga.[12]

8.      Oksidentalisme


Oksidentalisme al-Istighrâb, adalah lawan dari orientalisme al-Istisyrâq. Kalau oreintalisme melihat potret Timur yang dalam tanda petik “Islam” dari kacamata Barat, maka oksidentalisme justru sebaliknya: melihat potret Barat dari kacamata Timur.Apabila ditinjau dari aspek etimologinya, oksidentalisme diambil dari akar kataoccidentyang berarti “arah matahari terbenam”.     
 Secara garis besar, oksidentalisme suatu gerakan pembaharu yang muncul dari Timur untuk mensetarakan dunia Timur dengan Barat yang telah maju. Dan juga menetralisasi penyimpangan sejarah antara bangsa Timur dan bangsa Barat.

Tokoh-tokoh Oksidentalisme
Secara umum tokoh-tokoh Oksidentalisme adalah:
1.   Jamaluddin al-Afghani.
Beliau adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik Islam. Beliau juga salah satu filosof islam.
2.   Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir didesa Mahallat Nashr tahun 1849 M. Dan beliau wafat pada tahun 1905 M. Beliau juga termasuk dalam salah satu filosof Islam dan mempuyai pengaruh besar dalam bidang pendidikan.
3.   Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H. Beliau merupakan salah satu murid Muhammad Abduh.
4.   Nurcholis madjid
Nurcholish Madjid.M.A. Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Termasuk salah satu tokoh oksidentalis tanah air.
5.   Hasan Hanafi
Dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Beliau adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner serta oksidentalisme.












BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pada kenyataannya tidak semua orang mampu menerima hadits sebagai dasar syaria’at Islam, bahkan ada sebagian kecil yang menolak hadits sebagai dasar tasyri’. Hal ini bukan hanya datang dari ektern umat Islam tetapi dari intern umat Islam sendiri. Pada abad ke II Hijriyah muncul faham yang menyimpang dari garis khithab yang telah dilalui oleh para shahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima hadits sebagai hujjah dalam menetapkan hukum atau bila tidak dibantu oleh Al-Quran dan ada sebagian golongan yang tidak menerima hadits Ahad.
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Problematika tersebut telah dibahas secara seksama oleh para ulama dari berbagai keahlian; tafsir, hadits, ilmu kalam, fiqh dan tasawuf, terutama menggunakan dalil yang jelas dari Al-Quran dan Hadits, logika yang kuat dan fakta-fakta historis sejak zaman Nabi SAW.


Demikianlah pembahasan tentang Problematika Hadits yang bisa kami bahas dalam makalah ini, tentunya juga dalam pembuatan makalah ini tidak akan terlepas dari kesalahan dan kekuarangan yang kami buat baik yang sengaja atau tidak sengaja. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini bias sempurna



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Majid Khon, 2011. Pemikiran Modern Dalam Sunnah, Pendekatan Ilmu Hadits, Jakarta : Kencana,
Fatchur Rahman. 1970. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : Pt Al Ma’arif. 
Lajnah Ilmiah. 2001. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : Lesat Al-Hidayah. 
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. . 2009 Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits.
https://www.academia.edu/13490200/pandangan_orientalis_terhadap_hadist



[1] Munzier suparta, ilmu hadits, cet ke-3, th. 2002, hal. 176
[2] Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadits. Bandung : PT AL MA’ARIF. 1970. hlm. 168-169.
[3] Sohari. Ulumul hadits 2010. Hal. 163
[4] Munzier suparta, ilmu hadits, cet ke-3, th. 2002, hal. 177


[6]Lajnah Ilmiah. Pengantar Ilmu Hadits. Bogor : LESAT Al-Hidayah. 2001. hlm.142.
[7] Munzier. Ilmu hadis. 2002. Hal. 181-188
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. 2009. hlm. 191.
[9]Mahmud Thahan.ILMU HADITS PRAKTIS. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2012. hlm. 112
[10] Munzier,ilmu hadis, 2010, hal. 189-190
[11]abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana, 2011)
[12]https://www.academia.edu/13490200/pandangan_orientalis_terhadap_hadist

Komentar

  1. Did you realize there's a 12 word phrase you can speak to your partner... that will induce intense emotions of love and instinctual appeal to you deep within his chest?

    Because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, idolize and care for you with his entire heart...

    ===> 12 Words Who Trigger A Man's Love Response

    This impulse is so built-in to a man's mind that it will drive him to try harder than ever before to make your relationship the best part of both of your lives.

    Matter of fact, fueling this powerful impulse is so mandatory to achieving the best possible relationship with your man that the second you send your man a "Secret Signal"...

    ...You will soon find him open his heart and mind to you in a way he never experienced before and he will identify you as the only woman in the galaxy who has ever truly understood him.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer