(MAKALAH) SEJARAH KEBUDAYAAN PURWAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Purwakarta adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Pusat pemerintahan Kabupaten Purwakarta berada di Kecamatan Purwakarta. Kecamatan ini memiliki penduduk terpadat daripada yang lainnya, dan menurut data sensus penduduk tahun 2010 penduduk kecamatan ini sebanyak 165.447 jiwa.
Di kecamatan ini pula terdapat banyak kegiatan perniagaan sehingga menjadikannya sebagai kecamatan yang paling ramai sekaligus terpadat penduduknya (18,38% dari jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta) meskipun memiliki luas yang paling kecil di antara kecamatan lainnya (2,71% dari luas Kabupaten Purwakarta). Kecamatan Purwakarta memiliki ketinggian kira-kira 84m Dari permukaan laut. Di kecamatan ini mempunyai danau kecil yakni situ buleud yang melambangkan kota purwakarta ini. Kecamatan Purwakarta ini sering disebut Kota Purwakarta.
Situ buleud ini berasal dari Bahasa sunda, Situ yang berarti danau kecil dan Buleud yang berarti Lingkaran. Jadi dapat diartikan situ buleud adalah situ (danau kecil) yang berbentuk lingkaran. Tetapi kalau dilihat dari atas tidak berbentuk lingkaran, melainkan berbentuk seperti stadion sepak bola. Situ buleud menjadi tempat wisata dan berada pada jantung kota, situ buleud ini juga dijadikan tempat lari untuk setiap hari minggu saja. Ciri yang menjadi simbol situ ini juga adalah patung badak , karena dulunya situ ini menjadi tempat pangguyangan atau pemandian badak namun sekarang sudah tidak. Karena badaknya sudah menjadi hewan langka. Di situ buleud ini terdapat hotel sederhana yaitu Grand situ buleud. Di kecamatan ini juga ada stasiun pusat kabupaten purwakarta, letaknya di JL.KK. Singawinata dan tidak jauh dengan situ buleud.
Purwakarta berasal dari suku kata "purwa" yang artinya permulaan dan "karta" yang berarti ramai atau hidup. Pemberian nama Purwakarta dilakukan setelah kepindahan ibukota Kabupaten Purwakarta dari Wanayasa ke Sindang Kasih di tahun 1834.
Peristiwa kepindahan ibukota kabupaten ini setiap tahunnya diperingati pada tanggal 20 Juli dengan melakukan napak tilas tengah malam dari Wanayasa ke Sindang Kasih.
.           Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Karawang di bagian Utara dan sebagian wilayah Barat, Kabupaten Subang di bagian Timur dan sebagian wilayah bagian Utara, Kabupaten Bandung Barat di bagian Selatan, dan Kabupaten Cianjur di bagian Barat Daya.
Kabupaten Purwakarta berada pada titik-temu tiga koridor utama lalu-lintas yang sangat strategis, yaitu Purwakarta-Jakarta, Purwakarta-Bandung dan Purwakarta-Cirebon.
Luas wilayah Kabupaten Purwakarta adalah 971,72 km² atau sekira 2,81% dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat berpenduduk 845.509 jiwa (Proyeksi jumlah penduduk tahun 2009) dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,28% per-tahun. Jumlah penduduk laki-laki adalah 420.380 jiwa, sedangkan jumlah penduduk perempuan adalah 425.129 jiwa.
Kondisi geologi daerah Purwakarta terdiri dari batuan sedimen klastik, berupa batu gamping (kapur), batu lempung, batu pasir dan batuan vulkanik seperti tuf, breksi vulkanik, batuan beku terobosan, batu lempung napalan, konglomerat dan napal. Untuk jenis batuan beku terobosan meliputi andesit, diorite, vetrofir, basal dan gabro. Batuan ini umumnya bertebaran di bagian barat daya wilayah Kabupaten Purwakarta. Jenis Batuan napal atau batu pasir kuarsam merupakan batuan yang tertua di wilayah Kabupaten Purwakarta yang sebarannya terdapat di tepi Bendungan Jatiluhur (Bendungan Ir. H Djuanda).
Sedangkan batu lempung yang usianya lebih muda (miosen) tersebar di sekitar wilayah barat laut dan bagian timur Kabupaten Purwakarta berikut endapan bekas gunung api tua yang berasal dari gunung Burangrang dan Gunung Sunda, yaitu berupa tuf, lava andesit basalitis, breksi vulkanik dan lahar. Pada bagian permukaan batuan itu terdapat endapan hasil erupsi gunung api muda yang meliputi batu pasir, lahar, lapili, breksi lava basal, aglomerat tufan, pasir tufa, lapili dan laca scoria.
Berdasarkan kondisi dan jenis batuan di atas, maka di wilayah Kabupaten Purwakarta terdapat kandungan geologi berupa batu kali batu andesit, batu gamping (kapur), tanah lempung, pasir, pasir kuarsa, pasir batu (sirtu), tras, fosfat, barit dan batu gips. Sebagian besar jenis tanah adalah tanah latosol dan sebagian kecil adalah tanah aluvial, andosol, grumosol, litosol, podsolik dan regosol. Berdasarkan potensi yang dipaparkan di atas telah mendorong munculnya kegiatan pertambangan di Kabupaten Purwakarta.
Purwakarta berada pada cekungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan kemiringan 0-40% dan DAS Cilamaya. Hal itu sangat berpengaruh pada hidrologi dan sistem drainase daerah Purwakarta. Pada cekungan itu dibangun Bendungan Ir. H. Djuanda di Jatiluhur (7.757 ha.) dan Cirata (1.182 ha.), yang berfungsi sebagai "flow control", irigasi, pembangkit tenaga listrik, juga sebagai sumber air minum DKI Jakarta. Luas kedua bendungan tersebut setara dengan 9,19% luas wilayah Kabupaten Purwakarta. Pembanguan bendungan tersebut dimungkinkan oleh keberadaan sejumlah sungai.
Berdasarkan Basis Data Lingkungan Hidup, sungai-sungai di Kabupaten Purwakarta adalah (1) Sungai Cilamaya yang merupakan Induk Sungai (orde 1 di DAS) dengan panjang 62 Km, lebar rata-rata 30 m, dan debit air 366 m3/detik. Sungai Cilamaya ini mempunyai orde 2 di DAS yaitu antara lain: Sungai Ciracas, Sungai Cijambe, Sungai Cisaat, Sungai Cibongas, Sungai Cilandak, dll. (2) Sungai Cikao, yang merupakan Induk Sungai (orde 1 DAS) dengan panjang sungai 45 Km, lebar 40 m. Sungai Cikao terdiri dari beberap[a sungai orde 2 DAS, yaitu antara lain: Sungai Cigintung, Sungai Cigadung, Sungai Cikembang, Sungai Cicadas, Sungai Cigajah, Sungai Cisitu, Sungai Cibingbin, Sungai Cigorogoy, Sungai Ciledug, Sungai Citajur, Sungai Cigalugur, Sungai Cinangka, dll. (3) Sungai Cilangkap, yang merupakan Induk Sungai (orde 1 DAS) dengan panjang 16 Km, lebar 4 m. Sungai ini mempunyai orde 2 di DAS yaitu Sungai Cioray dan Sungai Cijalu. (4) Sungai Ciampel yang merupakan Induk Sungai (orde 1 DAS) dengan panjang 14 Km dan lebar sungai 4 m. Sungai Ciampel ini mempunayi orde 2 di DAS, yaitu Sungai Cikapuk, Sungai Sumurbeunying, Sungai Cilabuh, Sungai Ciwaru dan Sungai Cikantong

Wisata alam

  • Waduk Jatiluhur, dengan luas 8.300 ha terletak ±9 km dari kota Purwakarta menawarkan sarana rekreasi dan olahraga air yang lengkap dan menarik seperti : dayung, selancar angin, ski air, power boating, perahu layar, dan kapal pesiar. Fasilitas yang tersedia adalah hotel dan bungalow, bar dan restoran, lapangan tenis, kolam renang dengan water slide, gedung pertemuan dan playground. Bagi wisatawan remaja, tersedia pondok remaja serta lahan yang cukup luas untuk kegiatan outbond dan perkemahan yang letaknya diperbukitan diteduhi pepohonan. Di perairan Waduk Jatiluhur ini juga terdapat budi daya ikan keramba jaring apung yang menjadi daya tarik tersendiri. Di waktu siang atau malam kita dapat memancing sambil menikmati ikan bakar. Khusus untuk educational tourism, yang ingin mengetahui seluk beluk waduk ini, Perum Jasa Tirta II menyediakan tenaga ahli.
  • Waduk Cirata, dengan luas 62 km2 berada pada ketinggian 223 m DPL dikelilingi oleh perbukitan. Jika melakukan perjalanan dari kota Purwakarta melalui Plered, akan tiba di Cirata dalam waktu ±40 menit dengan jarak sejauh 15 km. Dalam perjalanan akan melewati pusat perdagangan peuyeum Bendul dan Sentra Industri Keramik Plered disamping menikmati keindahan alam di sepanjang jalan Plered-Cirata.
  • Situ Wanayasa adalah danau alam yang berada pada ketinggian 600 m DPL dengan luas 7 ha, terletak ±23 km dari kota Purwakarta dengan udara yang sejuk berlatar belakang Gunung Burangrang.
  • Sumber Air Panas Ciracas. Terletak ±8 km dari Situ Wanayasa berlokasi di kaki bukit dikelilingi oleh pepohonan dan hamparan sawah dengan udara yang sejuk. Terdapat sekitar 12 titik sumber mata air panas.
  • Air terjun Curug Cipurut dapat ditempuh dengan berjalan kaki sepanjang ± 3 km ke arah Selatan kota Wanayasa, merupakan tempat yang nyaman untuk rekreasi baik hiking maupun camping ground. Berada pada ketinggian 750 m DPL.
  • Badega Gunung Parang adalah objek wisata alam yang menyediakan sarana untuk rock climbing. Terletak 28 km dari kota Purwakarta berada pada ketinggian 983 m DPL.
  •  Gua Jepang berlokasi ±28 Km dari kota Purwakarta, memiliki ketinggian sekitar 700 m DPL, dikelilingi perkebunan teh, pohon pinus, cengkeh, manggis dan termasuk dalam kawasan puncak Gunung Burangrang. Gua Jepang merupakan gua buatan yang dibangun oleh Jepang (Romusha) sekira tahun 1943 untuk digunakan sebagai tempat persembunyian.
  • Desa Wisata Bojong terletak di Desa Pasanggrahan Kecamatan Bojong ±35 km dari Kota Purwakarta, berada pada ketinggian ±650 m DPL dikelilingi pepohonan, bukit, hamparan sawah, pemandangan alam Gunung Burangrang dan areal perkebunan rakyat.
  • Wisata Via Ferrata Wisata panjat tebing dengan menaiki tangga besi yang dilengkapi alat pengaman khusus bernama lanyard double system, dengan adanya teknik mendaki seperti Via Ferrata ini memungkinkan semua orang dapat memanjat Tebing parang tanpa mempunyai kemampuan khusus, Berada di Tebing Parang, Desa Pasanggrahan, Dusun Cirangkong.
  • Situ Buleud, adalah danau seluas 4 ha berbentuk bulat yang terletak di tengah kota Purwakarta. Situ buleud merupakan landmark Purwakarta. Konon Situ Buleud tempo dulu merupakan tempat "pangguyangan" (mandi/berendam) badak, kemudian pada masa pemerintahan kolonial Belanda dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Nantinya Situ Buleud akan dibangun museum bawah tanah dan taman air mancur siliwangi seperti di singapura.
  • Desa Wisata Sajuta Batu, terletak di Desa Pasanggrahan Kecamatan Tegalwaru, salah satu tujuan wisata alam di Purwakarta, dengan suasana khas pedesaan Purwakarta. terdapat berbagai jenis objek wisata tersedia, antaralain, wisata rekreasi dengan jelajah desa dan kampung dengan suguhan panorama alam yang masih asli, wisata mancing, wisata ziarah dan trekking, panjat tebing di Gunung Parang (Gunung batu andesit terbesar di Indonesia) dan menelusuri cerita rakyat Jonggrang Kalapitung di Gunung Bongkok, menelusuri Goa Bolong Gunung Parang serta terdapat sarana bumi perkemahan dan area off road di area Gunung Salasih.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengertian kebudayaan Purwakarta?
2. Bagaimanakah asal mula kebudayaan Purwakarta?
3. Bagaimanakah kebudayaan Purwakarta di mata pendatang?

C. Tujuan


1. Agar kita mengetahui tentang kebudayaan Purwakarta.
2. Agar kita mmengetahui dari mana asal mula kebudayaan Purwakarta.
3. Untuk mengetahui pendapat para pendatang tentang kebudayaan Purwakarta.


BAB II

PEMBAHASAN



A.    Pengertian Kebudayaan


1.      Nostrand (1989: 51)
           Mendefinisikan budaya sebagai sikap dan kepercayaan, cara berpikir, berperilaku, dan mengingat bersama oleh anggota komunitas tersebut.
2. Richard brisling (1990: 11)
          Kebudayaan sebagai mengacu pada cita-cita bersama secara luas, nilai, pembentukan dan penggunaan kategori, asumsi tentang kehidupan, dan kegiatan goal-directed yang menjadi sadar tidak sadar diterima sebagai "benar" dan "benar" oleh orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota masyarakat.
3. Croydon (1973: 4)
          Budaya adalah suatu sistem pola terpadu, yang sebagian besar berada di bawah ambang batas kesadaran, namun semua yang mengatur perilaku manusia sepasti senar dimanipulasi dari kontrol boneka gerakannya.
4. Larson dan Smalley (1972: 39)
          Kebudayaan sebagai "blue print" yang memandu perilaku orang dalam suatu komunitas dan diinkubasi dalam kehidupan keluarga. Ini mengatur perilaku kita dalam kelompok, membuat kita peka terhadap
masalah status, dan membantu kita mengetahui apa tanggung jawab kita adalah untuk grup. budaya yang berbeda struktur yang mendasari yang membuat bulat bulat masyarakat dan komunitas persegi persegi.
5. Ralph Linton (1945: 30)
Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

B.     Kebudayaan Daerah Purwakarta


Penataan kota di Purwakarta sekarang sangat berubah, dikarenakan bupati purwakarta ingin mengembalikan kebudayaan leluhur yang hampir hilang dikarenakan perubahan zaman. akan tetapi muncul permasalahan baru di sebagian kalangan masyarakat karena setelah dilihat dan di amati prubahan yang terjadi di kota Purwakarta lebih mirip kebudayaan bali. contohnya terdapat patung-patung tokoh pewayangan hampir di setiap perempatan jalan, tempat-tempat wisata dan taman kta, pendirian gapura pada setiap gang, bentuk pagar kantor pemerintahan dan fasilitas umum, pohon-pohon di kota dan dilingkungan kantor pemerintahan daerah diikat kain bercorak kotak bergaris kuning, kenapa bisa terjadi hal ini, apakah kebudayaan sunda dan bali sama? itu yang difikiran sebagian masyarakat, akan tetapi tidak ada yang berani untuk menyuarakan pendapat atau pertanyaan tersebut, masyarakat akhirnya hanya mengikuti saja pa yang dilakukan oleh pemerintahan kota Purwakarta.
Sebagian besar masyarakat Purwakarta itu asli orang sunda, walaupun tidak sedukit pendatang dari luar provinsi seperti, jawa tengah, sumatera, jka memang pemerintahan kabupaten purwakarta ingin mengembalikan kebudayaan sunda yang hampir hilang itu masoh banyak cara yang bisa dilakukan, karena kebudayaan sunda itu sangat beragam.
dilihat dari perubahan yang terjadi di kota purwakarta itu budaya bali dan budaya sunda sangat berbeda, hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek seperti aspek tradisi, dan lain-lain yang tidak sesuai dengan orang sunda apabila penataan kota orang sunda akan terbiasa dengan kebudayaan bali sehingga lama kelamaan kebudayaan sunda akan hilang ataupun bisa sebaliknya dampak yang ditimbulkan, yaitu akan semakin banyak masyarakat purwakarta yang menentang perubahan yang akan terjadi jika perubahan-perubahan itusemakin jauh dari kebudayaan sunda, apalagi dalam sejarah kebudayaan sunda itu menganut "sunda wiwitan", sunda wiwitan itu adalah kepercayaan bagi orang sunda zaman dahulu sebelum mengenal agama islam. alhasil perubahan yang sedang dilakukan mendapat banyak protes dari ormas islam karena dianggap menyalahi auran agama islam, contohnya saja pada saat menyapa dalam agama islam kita diwajibkan mengucapkan "assalmualaikum" itu artinya doa tetapi tidak digunakan oleh kebudayaan sunda mereka mengucapkan "sampurasun" dan maslah itu saja sudah bertentangan , seperti ormas islam banyak yang menentang dikarenakan di anggapperubahan di purwakarta sekarang ini sangat berbeda dengan ajaran. karena pada dasarnya dalam islam maupun kebudayaan sunda itu sama tujuannya saling mengharagai, menghormati, mencintai, kebersamaan dengan sesama manusia.

C.     Asal MulaKebudayaan Purwakarta


a.Budaya Purwakarta
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan sehat, baik, mawas, dan cerdas. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan ditujukan untuk kebaikan di alam semesta.
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.
b.Bahasa Purwakarta
Melalui kegiatan Sawala Basa Sunda, Bupati Purwakarta mengajak masyarakat menggunakan bahasa Sunda sebagai identitas karakter daerah dan harus percaya diri berbahasa Sunda.
Kegiatan Sawala Basa Sunda yang digelar oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda di Bale Citra Resmi mengatakan mengajar bahasa Sunda harus dengan gembira. Melalui tema “Palika Ngajar Basa Sunda Kalayan Gumbira” kegiatan tersebut diikuti oleh seluru guru mata pelajaran Bahasa Sunda di Kabupaten Purwakarta.
c.Aksara Sunda
Setidaknya sejak Abad XII masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuno yang merupakan salah satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuno dalam tradisi tulis masyarakat Sunda.
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuno. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.
Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.
Saat ini Aksara Sunda Baku mulai diperkenalkan di kepada umum antara lain melalui beberapa acara kebudayaan daerah yang diadakan di Bandung. Selain itu, Aksara Sunda Baku juga digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga, Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor Dinas Pariwisata Daerah Kota Bandung. Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan nama jalan-jalan utama di kota tersebut.
Namun, setidaknya hingga akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Barat belum juga mewajibkan para siswa untuk mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana para siswa tersebut diwajibkan untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan aksara daerah mungkin akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara Sunda Baku dipelajari bersamaan dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Lampung dan Provinsi Jawa Tengah telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dengan mewajibkan para siswa Sekolah Dasar yang mempelajari bahasa daerah untuk juga mempelajari aksara daerah
Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuno yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara lain didasarkan atas pedoman sebagai berikut:
  • bentuknya mengacu pada Aksara Sunda Kuno sehingga keasliannya dapat terjaga,
  • bentuknya sederhana agar mudah dituliskan,
  • sistem penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata,
  • ejaannya mengacu pada Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca.
Dalam pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).

 

D.    Kebudayaan Purwakarta di Mata Pendatang.

Purwakarta, sebuah kota kecil di Tanah Pasundan yang mendapat perhatian cukup luas terkait gebrakan budayanya. Adalah putra kelahiran Subang bernama Dedi Mulyadi yang mengemukakan konsep ‘Purwakarta Spirit Budaya’. Menjabat sebagai Bupati sejak tahun 2008, ia menerjemahkan konsep spirit budaya dalam sejumlah kebijakan pembangunan dan peraturan daerah.
Dedi Mulyadi menelurkan sejumlah peraturan daerah yang mengangkat nilai-nilai tradisi dalam lingkungan pendidikan hingga kemasyarakatan. Misalnya saja, Peraturan Bupati Purwakarta (Perbup) No 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter, Perbup No 70A Tahun 2015 tentang Desa Berbudaya, dan Perbup No 70B Tahun 2015 Tentang Ketahanan Budaya Masyarakat Kelurahan di Purwakarta.
Kota Purwakarta sudah banyak berubah. Terlihat jelas, ada upaya masif dan terstruktur yang membuat sudut-sudut kota berjuluk Kota Tasbeh itu seakan kembali ke era tradisional.
Patung-patung yang beraneka ragam, topi caping, sapu lidi, payung dan lampion menjadi landsmark Purwakarta seolah ingin menonjolkan budaya sebagai ciri khas kota ini. Setiap gang dan pintu masuk kota pun dihiasi gapura berarsitektur kerajaan Hindu masa lampau.
Ditemui oleh Kiblat.net di Gedung Dakwah Purwakarta pada Ahad, (06/12/15), Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengaku apa yang dilakukannya di Purwakarta ini terwujud dari rasa heran. Ia keheranan dengan pembangunan budaya sunda yang tidak ada peninggalan fisiknya dalam bentuk ajaran yang berkembang di masyarakat. Baik itu lewat cerita rakyat atau lainnya. Sehingga, ia mencoba mencari bentuk kesundaan yang ia pelajari. Kemudian ia mencoba mentranformasikannya dalam konsep ‘Purwakarta kembali ke budaya’.
Bupati Purwakarta saat ditemui Kiblat.net di Gedung Dakwah Purwakrta pada Ahad
“Saya heran dengan bangunan fisik sunda yang tidak ada peninggalannya dalam bentuk ajaran yang berkembang dalam cerita rakyat, sehingga saya belajar dari daerah Jogja, Cirebon, Jawa Timur dan Jawa Tengah sampai saya bisa membangun gapura yang seperti ini dan diterapkan,” ucap Dedi usai acara diskusi ‘Membumikan Islam Nusantara’ yang digelar ISNU Purwakarta.
Pesatnya laju pembangunan itu sendiri memang membawa nilai positif bagi warga dan kebanyakan dari mereka menerima perubahan tersebut. Unsur seni yang kreatif dalam pembangunannya memang menjadi ciri kahs tersendiri. Namun, tidak semua warga Purwakarta setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Dedi Mulyadi.
Salah satu di antaranya adalah Yeyen. Mahasisiwi berusia 18 tahun ini mengaku merasakan banyak perubahan pada kota kelahirannya. Ia juga melihat penataan kota yang semakin baik dan banyak dibangun ruang publik. Tapi dalam proses pembangunannya, Yeyen malah merasakan ada hal yang ganjil di kota yang ia tinggali.
“Iya sekarang ini memang cukup pesat ya, sekarang ini banyak kegiatannya seperti jalan santai, pawai egrang dan macem-macem. Tapi tidak semua itu positif, sewaktu masih SMA pada perayaan arak-arakan kereta kencana. Ada yang melihat kalo isi keretanya ada orangnya dan jadi rame semua temen-temen disekolah,” ucap Yeyen saat dijumpai Kiblat.net di seputaran Situ Buled saat Car Free Day, Ahad pagi.
Ia juga merasa takut dan merasakan adanya kemistikan yang terjadi karena dalam perayaan arak kereta kencana itu. Pasalnya, ada bau menyan sangat menyengat yang diringi gamelan sunda.
“Iya serem, waktu ngeliat di sana soalnya suasanya udah serem ditambah musiknya yang juga serem di dukung juga bau-bau menyan disana,” sambungnya.
Senada dengan Yeyen, warga Purwakarta lainnya bernama Haikal juga menyatakan hal yang sama. Siswa salah satu SMP Negeri di Purwakarta ini tidak setuju dengan pembangunan patung-patung. Menurutnya, kebijakan budaya itu tidak seharusnya diterapkan di seluruh Purwakarta


BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan masyarakat purwakata dilihat dari letak geografis, masyarakat purwakarta dalam Bahasa banyak menggunakan Bahasa Sunda, dan juga Bahasa Indonesia Karena banyaknya bermacam suku yang ada di Purwakarta seperti, sunda, bali, jawa.

Dari segi ekonomi, dapat dilihat pengaruh letak nya yang dikelilingi oleh tempat wisata banyak yang bermata pencaharian sebagai pengerajin khusus nya di daerah plered. Dalam segi social, masyarakat Purwakarta sangat menghargai penduduk pendatang, dan dapat menerima perbedaan. 

Komentar

Postingan Populer